Tuesday, March 20, 2012

Bulutangkis, I will always Love You!


Beberapa hari yang lalu si ayah mengajak saya berlatih tenis. Tenis? Ngapain? Nggak ah, saya lari saja lucu, apalagi olehraga pertandingan macam begitu? Saya yakin saya bahkan nggak bakal lulus sedari pelajaran basic: cara memegang raket tenis! Hahaha.

Lagian tenis itu kurang seru. Baru seru kalau yang main Nadal, selain itu, coret! Hahaha. Saya suka style cueknya. Dan saya selalu menunggu2 ritualnya setiap menjelang servis: pegang kuping kanan, kuping kiri, terus pegang pantatnya, hahaha!

Kenapa kurang seru? Pertama saya nggak ngerti sistem skornya. Bahkan nggak mau repot2 untuk ngerti. Kedua saya pusing nontonnya. Saya pernah diajak si ayah nonton dia main tenis. Pertama saya tonton dari samping. Baru beberapa menit leher saya pegal karena terus mengikuti bola yang mendesing lurus secepat kilat bolak balik. Oke saya tonton dari belakang. Ugh, ternyata nggak asik juga. Bosen. Nggak ada serunya. Mereka bahkan nggak keringetan. Hahaha. Akhirnya saya memilih blogwalking daripada nonton mereka.

Daripada tenis, jelas saya lebih suka bulutangkis. Mungkin bisa ada penjelasan yang menarik dari sisi kepribadian disini. Siapa sih yang nggak suka nonton bulutangkis di Indonesia? Saya rasa nggak ada. Pertama saya nggak pusing nontonnya, adrenalin malah terpacu, padahal cuman nonton. Pertama karena lop2 bola yang mendebarkan, kedua smash2 hebat yang menggetarkan. Pemainnya keringetan. Lari kesana kemari dengan gerakan indah dan tangkas. Berjuang poin demi poin, hati2 mengatur strategi untuk dua-lima langkah ke depan.

Yang disayangkan cuman satu, sistem skornya sekarang sangat mengecewakan. Kalo kata si ayah, yang dulu suka main bulu tangkis juga, sistem skor itu adalah usulan dari pemain2 Eropa yang manja karena kalah mulu dari pejuang2 hebat Asia, khususnya Indonesia. Saya penasaran bagaimana perdebatan di IBF dulunya, sampai akhirnya tercipta sistem skor sialan sekarang. Masak sih cabang2 IBF di Asia bisa kalah debat dari Eropa sana? Atau apa suara mereka juga mendukung sistem skor yang sekarang? Katanya sih bahkan China mendukung sistem yang baru. F**k! Katanya cuman Indonesia yang keras2an mempertahankan sistem skor lama. Tentu saja kalah, karena atas nama demokrasi sialan, dimana suara terbanyak adalah suara rakyat, maka sistem skor elegan itu mesti kalah.

Sistem skor kapitalis. Mengeruk keuntungan poin demi poin bukan dari perjuangan sendiri, tapi dari kesalahan lawan? Bah! Itu jelas sistem rakus, pokoknya bagaimana caranya mengeruk untung sebesar2nya dengan memaksimalkan segala sisi, bahkan sisi kelemahan lawan. Jadi dimana sikap sportif elegan yang membanggakan, yang lahir dari perjuangan mencapai poin demi poin, yang ampun betapa hal itu memberikan pertunjukan terhebat sepanjang masa.

Betapa semua orang tak akan lupa saat Peter Gade, pemain Denmark, saya lupa waktu All England atau Olimpiade ya,  dimana ia sudah kalah poin jauh sekali, tapi masih bisa mengejar skor dan akhirnya menang? Oh Gosh, betapa tidak hal itu menularkan sikap penuh perjuangan? Atau Ardy B Wiranata yang pernah di posisi sama? Pantas saja Susi Susanti tak ingin melatih seorang pun pemain bulutangkis Indonesia, karena menurutnya pemain sekarang KURANG punya semangat juang. Jelas saja! Karena mereka dibesarkan oleh sistem sialan yang mereka bahkan nggak menyadari sudah dibodohi dan diracuni.

Saya kadang bingung. Kenapa sih Indonesia mesti tergantung sama perkumpulan2 olahraga internasional? Lama2 saya sebel juga menghadapi mereka. Ini baru IBF. Belum lagi FIFA yang hanya diam teserah Indonesia bagaimana menangani sendiri kemelut bolanya. Kenapa sih FIFA nggak keluarin pernyataan saja, membolehkan entah itu ISL kek, IPL kek, intinya adalah semuanya bertujuan meramaikan dunia bola Indonesia, membuat bola Indonesia bisa bangkit lagi. Mungkin itulah maksud organisasi2 sialan itu. Membuat Indonesia nggak bisa lagi hebat di bidang apapun. Entah itu bulu tangkis, bola. Atau kalo mau dilihat dari sisi parnonya, Indonesia bahkan diserang dari segala lini. Dari olahraga oleh organisasi2 internasionalnya, sumber daya alam oleh investasi raksasanya, generasi muda oleh narkobanya, sampai sistem politik begok yang ngapain sih mereka menerapkan demokrasi Barat? Bukannya sudah ada demokrasi Pancasila? Dimana solusi diperoleh bukan dari suara terbanyak, tapi dari hasil musyawarah dan mufakat??? Pertama hapus sistem partai. Isilah DPR hanya untuk orang2 pintar yang dipilih oleh rakyat, bukan karena ia mencalonkan diri. Online ajah. Masing2 propinsi ajukan orang. Terus presiden juga pilih langsung. Mungkin seperti waktu semua orang Indonesia memilih Soekarno. Gimana sih caranya waktu itu? Hebat tuh. Sementara Menteri ambil yang dari karir. Supaya menterinya ngerti apa yang harus dilakukan. Bukannya belajar dulu atau langsung embat anggaran ini itu. Jadi semua adalah hasil musyawarah mufakat, sekali lagi bukan suara terbanyak.

Aiiih aiiih….. Indonesiaku tersayang, bulutangkisku tercinta, padahal awalnya saya pengen cerita bagaimana hebohnya saya saat pertama kali ikut klub bulutangkis. Hahaha. Sebelumnya saya nggak pernah sekalipun main bulutangkis. Saya cukup suka nonton di tipi sampai mabok. Nah, pas saya ditempatkan di tanah Borneo, sekitar delapan tahun yang lalu, saya nggak punya teman. Saya masih meraba2 cara gaul orang2 lokal, apaan yak, ternyata mereka punya klub bulutangkis yang sangat aktf. Jadilah dengan semangat saya daftar, langsung beli raketnya, yang ternyata mahal sekitar 400rb, gagang titanium, katanya sih nggak gampang patah, warnanya hijau pupus, dengan lugunya saya beli. Saya lupa mereknya. Ternyata itu merek lumayan terkenal. Karena beberapa pemain langsung ngiler liat raket saya. Terus saya juga beli sepatu olahraga. Salah beli lagi. Yang saya pilih malah sepatu kanvas yang buat jalan2, hahaha. Jelas berat buat melangkah atau lari. Tapi saya cuek. Toh fungsinya jadi bisa dua: jalan2 dan olahraga. Hahaha.

Beberapa kali latihan ternyata tidak berhasil membuat saya tertarik menjadi pemain. Rasanya cukuplah takdir saya menjadi penonton yang bersemangat. Hahaha. Saya bahkan nggak bisa memperbaiki pegangan tangannya. Males ngejer bola. Nggak bisa2 smash. Cuman bisa lop2an dengan gaya membosankan. Hahaha. Cuman cari keringat. Ya udah, ketemu bulan puasa, langsung aja deh berhenti, hehehe. Cuman saya tetap semangat nonton. Yah, gitu deh, saking semangatnya, sampe akhirnya berhasil juga saya menggaet salah satu diantara mereka untuk menjadi suami, hehehe! Pokoknya, Bulutangkis, I will always love you deh!

No comments:

Post a Comment