Monday, March 19, 2012

Winter Dreams by Maggie Tiojakin


Sebenarnya sudah beberapa kali saya mendengar nama Maggie Tiojakin sebelumnya di ranah tweeter, khususnya tweeps yang berkecimpung di dunia buku. Tapi baru beberapa minggu yang lalu akhirnya benar-benar mencari tahu apa yang sudah ditulisnya. Nah, kebetulan di akun @twitteriak yang saya follow, yang di dalam laman twitnya terdapat beberapa wawancara dengan sejumlah tokoh yang berkecimpung di perbukuan nasional. Salah satunya adalah Maggie.

Dari fotonya Maggie tampak muda sekali, maybe under 25years. Tapi nyatanya ia adalah seorang jurnalis, tulisannya sering dimuat di The Jakarta Post Weekender. Dia sudah banyak menulis cerpen, terakhir ia menulis naskah untuk film Simfoni Luar Biasa. Ia juga punya situs gratis, Fiksi Lotus, yang memuat cerpen2 klasik dunia yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Nice.

Dalam wawancara bersama @twitteriak, Maggie khusus bercerita tentang Winter Dreams, novel keduanya. Sebenarnya temanya nggak begitu istimewa, hanya seorang yang senantiasa gelisah sampai2 nggak tahu bahkan apa mimpi-mimpinya. Hanya seorang yang tengah mencari jati diri. Pemuda galau, istilah sekarang. Tapi penjelasan Maggie yang runut dan tertata itulah yang membuat saya tertarik hunting novel satu ini. Simple. Saya suka penulis yang berpikir secara sistematis, logis. Campurkan sedikit saja sinisme, komedi tragis ironis di dalamnya maka ia akan menjadi penulis favorit saya.

Oke, di Gramedia ternyata saya menemukan buku antologi tentang poligami, dimana dua orang teman turut menyumbang ceritanya. Harganya hampir sama dengan Winter Dreams. Budget saya hanya cukup untuk satu buku dewasa dan dua buku anak2. Hmm, pikir punya pikir. Bagaimanapun sistem buku nulis keroyokan itu punya sisi jelek paling dominan, dari 20 penulis paling hanya 1-3 penulis yang ceritanya bagus. So, I picked Maggie.

Saya nggak ngerti istilah resminya, jadi ternyata Maggie bertutur dengan bahasa ‘aku’. I like it. Mengamati dunia melalui cara pandang si karakter utama, Nicky F. Rompa, pemuda tanggung, 22 tahun, ayah ibu bercerai, putus kuliah karena ia pindah ke Boston US supaya terhindar dari perangai ayahnya yang tukang pukul. Seorang tokoh anti-hero yang bergumul mencari apa yang ia paling inginkan dalam hidup. Hmm. Pergumulannya mungkin membosankan tapi karakter anti-heronya itulah yang membuat menarik.

Padahal baru kemarin saya nonton Kick Andy dengan Award Super Hero 2012-nya. Yang sempet saya perhatikan adalah Siska Ridwan, seorang palaeontologis sekaligus remaja penderita lupus yang memilih berjuang melawan penyakitnya, sambil terus meneliti naskah2 kuno Indonesia. Ia berhasil membangun situs ensiklopedi digital naskah kuno, dimana semua orang bisa belajar membaca naskah2 berat tersebut. Ia bahkan memberi kursus. Betapa penuh semangat berbagi, vitalitas, heroik. Jauh berbanding terbalik dengan seorang Nicky di Winter Dreams.

Meski antihero, Nicky adalah pemuda yang realistis. Ia rajin bekerja dan tetap gaul. Ia bahkan masih mau mengembangkan wawasannya. Nggak seperti remaja2 gagal lain yang hanya bisa gaul dan galau. Mulai dari penjaga toko kelontong, supir limosin, atau ambil kursus creative writing.  

Kegelisahan Nicky tentang mau jadi apa di dunia ini tentu nggak cukup menjadikan novel ini menarik. Mesti ada bumbu asmara. Seorang sobat Nicky di awal2 cerita mengatakan, “Temukan seorang wanita yang bisa membuatmu lupa akan segalanya. Tatap matanya saat kau bercinta dengannya. Nanti saat kau menemukan apa yang kumaksud, kau pasti bisa merasakannya.”

Jadi untuk seterusnya ia bertemu satu demi satu perempuan, berusaha mencari sosok yang dimaksud. Sampai suatu hari ia bertemu satu. Natalie Black. Hanya saja yang satu ini adalah istri temannya. Meski jalinan cerita di awal pertemuan begitu ngambang, membuat saya mengira2, apa yang sebenarnya Nicky rasakan untuk Nat. Juga apa yang sebenarnya dirasakan Nat. Mereka doyan sekali tarik ulur. Tidak tegas2 bilang, aku cinta padamu. Pasangan payah.

Tapi fragmen terakhirlah yang terindah. Ia diundang keluarga Nat di malam Thanksgiving. Nggak taunya Nicky malah tak ingin masuk dan memilih jalan2 bersama Nat. Saat kembali Nat duluan menaiki anak tangga menuju pintu depan. Merasa tak diikuti, ia menoleh ke belakang. Tampak Nicky hanya diam memandangnya, berusaha mengingat wajah, ekspresi dan postur tubuh Nat, yang saat itu bagai sebuah portret mental, seolah itu pertemuan mereka yang terakhir. Dan Nicky ingin mengingat semuanya. Great scene kan kalau dijadikan film?

Momen selanjutnya tetap memukau. Nat menyuruh Nicky masuk, Nicky nggak mau. Ia hanya ingin pulang. Nicky diam kembali menatap Nat sambil menghembuskan nafas panjang. Natalie balas menatap Nicky, bisu.

Suatu hari semua ini akan terasa nyata, bukan ilusi semata. Aku tidak tahu apa yang kutunggu. Aku hanya tahu saat kami kehabisan kata-kata dan tidak bisa mengutarakan hal yang sejujur-jujurnya, kami beralih mengutarakan kebohongan yang luar biasa.
   
Lalu mereka saling berjanji menelepon. Padahal tidak. Nicky pun pamit.
“Happy Thanksgiving,” kata Nicky.
“Happy Thanksgiving,” jawab Nat.
Pikir Nicky : Aku takkan pernah melihatnya lagi.

Great momento, uh? Persis seperti apa yang sobatnya bilang beberapa tahun kemudian. “Ingat apa yang kubilang dulu soal wanita yang bisa membuatmu lupa akan segalanya? Aku lupa bilang kalau terkadang kau tak bisa memiliki wanita itu.”  

Terakhir, saya suka cara Maggie menutup cerita. Mengingatkan saya cara Stephenie Meyer menutup Eclipse, saat Jacob Black mengatasi kesedihannya karena Bella tetap memilih Edward, dengan cara pergi dari La Push dan mengembara dalam bentuk werewolf ke hutan belantara bagian utara, sampai saatnya ia siap kembali. Tentunya nggak persis2 amat dengan karakter heroik Jacob Black, karena Nicky adalah karakter anti-hero, maka ia hanya memilih berjalan kaki menyusuri kota Boston yang sepi di malam Thanksgiving. Ia berhenti di sebuah lapangan es kecil, iseng memperhatikan sekelompok remaja bermain hoki. Ia hanya berdiri di situ mengamati mereka bermain dan bermain hingga ada satu pemain kecapaian. Tahu2 ia dipanggil, diajak bermain.  
“Can you skate?
“I think so.”
“Kenakan helm ini. You good?”
Nicky mengangguk.
“Now follow your gut and try to keep up with the game.”
Ia pun meluncur ke tengah lapangan.
The end.

Kalimat penutup yang dashyat. Now follow your gut and try to keep up with the game. Bener kan? Bukannya itu solusi sebenarnya dari semua kegalauan? Bahkan untuk urusan cinta sekalipun? Apalagi soal jati diri, ya kan? Adegan yang dipilih pun asyik banget. Inline skating, pelan2 meluncur, lalu tenggelam dalam keseruan bermain.

2 comments:

  1. Hai Meli, review-mu jauh lebih baik dari pada yg saya tulis. Yes, we like that final sentence! Follow your gut and try to keep up with the game. Ia pun meluncur ke tengah lapangan. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. hai Vira, thx dah komen balik. yup that final sentence, meski trnyata gak semua pembaca winter dreams pilih kalimat realistis itu :)

      Delete