Monday, April 30, 2012

Pearl Jam : a real Dyermaker


"Mengapa kau tak juga datang? Rasanya aku mau menunggumu selama seribu tahun, meski kau tak pernah berjanji. Namun agaknya waktu di dunia ini bukan untukku. Aku tahu cintaku hanya lamunan. Hidup berlalu dan aku pun berlalu, kenyataan dan khayalan menyatu dalam waktu." Atas Nama Malam, Seno Gumira Ajidarma
  
Ada jenis manusia tertentu yang bisa disebut usang. Terutama dalam hal musik. Dunia boleh terus berputar, tapi entah bagaimana mereka tak pernah bisa lepas, terus kembali dan kembali lagi untuk setia pada yang satu, pilihan diantara seribu. Pearl Jam. 

Kira-kira, apa sih yang membuat cinta itu tetap bertahan? Masing-masing lost dogs pasti punya jawaban sendiri. Sebenarnya saya ingin sekali memilih jawaban bahwa saya terlanjur kena kutuk terjebak selamanya dalam pesona sosok seorang Eddie Vedder, tapi ternyata ada juga jawaban yang lebih logis daripada itu. Ya, faktor lirik. Tons of them.

Menurut saya, Drew Barrymore-lah tampaknya yang paling pas menjelaskan ini di film Music & Lyrics. Dia bilang musik itu ibarat pertemuan pertama. Daya tarik fisik. Seks. Tapi begitu kau mengenalnya, itulah lirik. Kisah mereka. Siapa kau di dalamnya. Kombinasi keduanyalah yang menjadikannya istimewa. Nah, Pearl Jam menawarkan kisah-kisah seperti itu. It’s like I’m growing up with them.

Kalau soal cinta, awalnya saya begitu memuja Black, juga Footsteps, lagu patah hati yang paling mewakili perasaan saya saat itu. Sedih dan marah, bukannya cengeng seperti yang ditawarkan kebanyakan lagu lain. Seiring ruang dan waktu, saya malah sangat menikmati Smile, Around The Bend, Faithfull, even Light Years. Tak lagi sedih atau marah, apalagi cengeng. Just go with it.

Kalau soal me against the world, dengan penuh ekstasi awalnya saya menggilai Alive, Even Flow, Oceans, Animal, Indifference, Leash, Alone,State Love and Trust, Rearviewmirror, Not For You, Tremor Christ, Corduroy, Immortality, or even Bugs. Kesemuanya lagu protes penuh teriakan dan kemurungan. Lalu seiring perjalanan hidup, saya sepenuh hati menyimak baik-baik Sometimes, Who You Are, In My Tree, Present Tense, Mankind, Wishlist, Given To Fly, All Those Yesterdays, I am Mine, sampai Unthought Known dan Just Breathe. Tak lagi teriak-teriak, tapi lebih ke sikap seksama, a little bit serious, meski malah lebih sering mentertawakan hidup.  

Tentunya dunia tak melulu tentang cinta, tak melulu peduli diri sendiri, dan Pearl Jam mengamininya. Ada Jeremy, berkisah seorang anak lelaki yang menembaki teman sekelasnya di sekolah. Lalu ada Daughter, yang bercerita tentang seorang anak perempuan disleksia dengan ibu yang tak mau mengerti. Glorified G, tentang mudahnya memperoleh senjata di kalangan remaja US. Atau tentang orang-orang biasa di sekitar kita: Elderly Woman Behind the Counter in a Small Town, Off He Goes, Leatherman, Johnny Guitar. Atau tentang orang-orang rakus ambisius yang selalu ada di sekeliling kita: Rats, Do the Evolution, Dirty Frank, Soon Forget, atau Bushleaguer.

Ya, dari lirik merekalah saya belajar tentang hidup. Untuk itulah saya yakin saya akan cinta Pearl Jam selamanya. Meski setelah saya pikir-pikir, nowadays, rasanya cinta itu lebih murni pada jaman sebelum kini. Dulu tak pernah terbersit di otak saya bagaimana seandainya Pearl Jam datang ke Indonesia. Saya hanya menjalani kesukacitaan sederhana, dengan cara, entah itu membuat bundel segala sesuatu tentang Pearl Jam, menghapal lagu-lagunya, mempelajari lirik-liriknya, hunting album-album single-nya, mencari berita sekecil apapun tentang mereka di internet, tertawa dan bangga dengan kisah-kisah heroik mereka: melawan Ticket Master, stop membuat video klip hanya supaya mereka nggak tambah populer, bikin konser dengan harga tiket fans-friendly, etc.   

Saya bahkan rela mengatur cermat perjalanan penuh tantangan menuju Australia, saat Pearl Jam mengadakan tur di lima kota besarnya: Brisbane, Sydney, Melbourne, Adelaide dan Perth, pada bulan Pebruari tahun 2003. Detailnya tak pernah lupa. Saya pilih Brisbane karena paling dekat Indonesia. Saya putuskan akan menggunakan rute kapal laut, kelas tiga, lima hari, Jakarta-Surabaya-Makassar-Ternate-Sorong. Lalu kapal feri Sorong-Mimika, dua-tiga hari. Dari Mimika, kabarnya ada kapal feri menuju Pelabuhan Cairns. Cairns adalah kota di pantai barat Australia, tinggal menyusuri enam kota pantai selanjutnya, lalu tadaaaa…! Disitulah Brisbane berada. Memang sih, pada akhirnya saya tak jadi melakukan perjalanan menakjubkan itu. Seminggu setelah planning, saya mendapat kabar kalau saya diterima bekerja di Kalimantan dan segera harus melapor. Kadang Tuhan bercanda di saat yang tepat, ya kan?

Intinya, kesukacitaan sederhana mencintai Pearl Jam sepenuhnya saat itu, tanpa berharap apakah Pearl Jam mau membalasnya dengan datang ke Indonesia, adalah pure love. Sementara kini, saya nggak yakin. Cinta yang saya punya kini terasa menuntut. Bring Pearl Jam to Indonesia. Betapa eforianya. Betapa banyak sudah upaya dilakukan, terutama oleh teman-teman Pearl Jam Indonesia. Tapi mereka tak pernah datang. Atau jelas-jelas berniat akan datang.


Ugh, betapa saya benci dengan pikiran sinis yang kadang menyusup. Ok, we are small herd, just about three thousand people. Tapi tak bisakah mereka datang tanpa mempedulikan profit? Tak bisakah mereka datang tanpa mempedulikan idealisme? Tak bisakah mereka memikirkan nasib fans di negara dunia ketiga? Tak adakah terbersit di kepala mereka sekedar jalan-jalan, ke negara yang tak pernah dikunjungi, just for fun only? Main musik di satu hari, lalu berpetualang di hari esoknya? Ada surga disini, dear!  

Kira-kira, akan sampai dimanakah batas tapak kita menanti? Pertanyaan ini mungkin menekan, memabukkan, bahkan menghancurkan keping-keping hati mungil yang percaya akan keajaiban. Mungkin benar cinta ini hanyalah lamunan, kami bahkan rela menunggu seribu tahun, meski mereka tak pernah berjanji.

Nunukan, 30 april 2012